Ketidaksesuaian Antara Judul dan Isi Film “Hijab”

poster-filmhijabAssalamualaikum wrwb

Saat ini tuh lagi tayang sebuah film di bioskop berjudul “Hijab” yang digarap oleh seorang sutradara kontroversial bernama Hanung Bramantyo. Film ini mengesahkan tentang kisah keseharian 4 orang wanita yang sebagian besar sudah bersuami untuk mempunyai penghasilan sendiri dari jualan hijab.

Kecuali Anin; Bia, Tata dan Sari adalah perempuan bersuami dan berjilbab dengan style yang berbeda-beda. Bia yang desainer dan bersuamikan artis memilih berjilbab fashion. Tata yang isteri fotografer menutupi rambutnya yang botak dengan Turban (dalam sinopsis resminya dianggap berjilbab, padahal itu turban yang hanya menutupi kepala botaknya, sedang lehernya masih kelihatan sehingga tidak cocok disebut jilbab). Sari yang bersuamikan lelaki keturunan Arab kolot membalut tubuhnya dengan Jilbab Syar’i. Hanya Anin yang memilih untuk bebas: tidak berjilbab sekaligus tidak mau menikah. Seperti halnya Anin, awalnya Bia, Tata dan Sari adalah perempuan mandiri. Setelah menikah, mereka menjadi isteri yang “Ikut Suami” dan berada dalam kondisi tidak berdaya dengan pilihan-pilihannya sendiri.

Suatu hari, saat arisan bersama, Gamal (suami Sari) menyindir dengan kalimat: “Semua arisan ibu-ibu sebenarnya arisan suami, karena duitnya dari Suami”. Tata terusik. Kemudian mengajak sahabatnya untuk menggugat ucapan Gamal dengan cara kembali menjadi perempuan mandiri seperti saat mereka masih lajang. Tidak disangka, Sari menyambut dengan antusias. Bia, Tata dan Anin jadi semangat. Akhirnya secara diam-diam mereka bekerja dengan memulai bisnis fashion HIJAB secara online. Bia desainernya, Sari yang mengelola keuangan, Tata dan Anin marketingnya.

Dalam 3 bulan bisnis ini meroket karena keuletan mereka. Disamping itu, fashion HIJAB juga sedang menjadi trend di Indonesia. Mereka telah berhasil membuktikan bahwa mereka bukan tipe perempuan “ikut suami”. Mereka akhirnya mandiri. Bahkan penghasilan mereka melebihi suami. Tanpa disadari para suami merasa gengsi dan terancam sehingga menyebabkan keretakan rumah tangga.

Ternyata jalan cerita film Hijab tersebut jauh dari yang saya bayangkan sebelumnya. Karena menurut saya Hijab itu adalah perintah dari Allah SWT kepada muslimah untuk menutup aurat, sehingga saya berasumsi bahwa film tersebut menceritakan tentang betapa mulianya mengenakan hijab atau kisah menyentuh hati seorang wanita yang memutuskan untuk berhijab di tengah godaan dahsyat yang menghalanginya. Namun di film ini ternyata berisi petualangan para wanita yang berjualan hijab secara online karena tidak ingin bergantung dengan suami. Mereka melakukan bisnis tersembunyi tanpa ridho suami-suami mereka. Mereka ingin membuktikan bahwa mereka bukan tipe perempuan “ikut suami”. Terus ikut siapa?? Bukankah suami adalah pemimpin keluarga. Bukankah uang suami adalah untuk menafkahi keluarga pula? Justru dalam potret keluarga muslim di dunia nyata malah biasanya yang terjadi adalah sebaliknya, para suami malah akan sangat senang jika para istrinya berbisnis online di rumah tanpa harus kerja penuh waktu di luaran.

Hanung mengatakan bahwa “Orang pasti pikir ini film tentang agama yang serius atau bagaimana, tapi sebenarnya ini film yang lucu, ada unsur pengetahuan agamanya tapi dibalut dengan cerita yang ringan dan dekat dengan kehidupan sehari-hari.

Lebih lanjut Hanung bercerita lewat blog pribadinya bahwa film “Hijab” ini bukanlah film religi yang serius. Film ini justru diangkat dari kisah Zaskia saat memulai bisnisnya, Meccanism, bersama empat orang sepupunya.

Oooo…, ternyata tentang kisah Zaskia, kirain tentang “Hijab”. Berarti tentang kisah keluarga Hanung dong. Kalau begitu sih judul dan isinya bisa dibilang tidak nyambung. Alangkah lebih baik kalau judulnya jangan Hijab karena bisa membuat orang kecele, merendahkan makna hijab, dll. Kalau itu film komedi, janganlah mengatasnamakan Hijab. Mengambil sample kecil bernuansa negatif, misalnya keseharian istri sendiri untuk diekspos dan dianggap mewakili seluruh kehidupan para muslimah tidaklah tepat. Kondisi seperti itu membuat fimadani menganalogikan sebagai “stroberi busuk“, seperti berikut ini: “Di satu keranjang buah stroberi segar yang mengandung vitamin C tinggi, ada beberapa butir buah yang rusak. Sayangnya, ada seseorang dengan ‘kreativitas’ tingkat tinggi, kemudian fokus memberitakan, menceritakan, dan terus-menerus menginformasikan tentang beberapa butir buah busuk itu, ketimbang berbagi informasi dan fokus pada buah yang bagus dan menyehatkan, yang jumlahnya jauh lebih banyak di dalam keranjang tersebut. Itulah yang selalu dilakukan oleh Hanung Bramantyo, sutradara muda, yang sering sekali membuat film tentang keburukan seorang ‘Muslim’, sehingga Islam terlihat menjadi buruk dan tidak adil.”

Baca juga:

2 thoughts on “Ketidaksesuaian Antara Judul dan Isi Film “Hijab”

  1. Subhanallah tiap orang mempunyai persepsi berbda ukhti. Seolah ukhti menganggap hal itu salah. Kalo gitu ujhti aja yg buat filmya. Ups heheheh

    • Subhanallah, konsumen, masyarakat, atau pelanggan tentunya berhak untuk mereview suatu produk. Orang yang test-drive mobil namun tidak suka dengan kenyamanan mobil tsb tentunya tidak perlu untuk membuat mobil sendiri, orang yang dapat sample produk dan kurang sreg dengan produk tsb tentunya tidak harus membuat produk tsb pula, penulis review smartphone tentunya juga tidak perlu membuat smartphone sendiri, orang yang komen spt atas (Talitha) tentunya juga tidak ada keharusan untuk mebuat blog dan mereview film sendiri walaupun persepsinya berbeda. Ups hehehehe

Leave a Reply to Talitha Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *